Rabu, 23 Desember 2009

demi senyum kalian

tiada kering tiada tidak....
tuk ucap henti pada sang waktu....
kaki bersantun, lengan terpuja.....
ah...demi nyawa bergumul dengan hati....

tak satupun bisa menebak....
juga untaian akar ilalang....
tak ada imbal terlebih balik....
ah...aku ingin tawa sederhananya....

wahai gulita awan.....
gemakan petirmu lantang berulang....
bak parau celotehku ditengah malam...
menimang senyum kecil itu...
jangan pula gagap tuk muntahkan airmu...
membelah kabut tak berbekal...
hingga keriput dahiku tak peduli...
menghitung perjalanan tak berbatas ini....

aku rindu tawa dan senyum kecil itu....
bermain didamai tetes keringatku....
walau kini melumpur sudah....
ah...biduk tak berkaki...
jgn menyela dipinggir harap...
biarkan.... merambah syahdu dipelupukku....

semoga....
pulaslah "kalian" dengan mimpiku...
walau esok pagi tak bertabur embun...
jgn pernah merintih diperjalanan...
karena janjiku kini telah bertuan...
demi langkah tertatih penuh senyum...
menuju.....sebuah tuju, kalian dipangkuanku....




trimakasih : kang hendra

Selasa, 08 Desember 2009

aku ingin sendiri

jangan kau sapa aku lagi....
saat kau berkedip untuknya....
tak usah bertanya saat kuterbangun....
karena tak lupa aku, kala gerimis itu....
kau nina bobokan senjaku....
dimeja kayu tak beralas...
cukup ....
jangan kau ketuk lagi mimpiku...
yang lelah dikatup bibir ini...
biar....
menari sedih dikaki angkuhmu...
menggeliat pedih tanpa henti...
walau....
tiada manja menerpa asa...
tersudut sepi dikidung hampa....

tak ingin bertanya aku...
mengapa dan untuk apa....
terlebih untuk siapa....

jangan...
kau petik hangatku lagi...
ijinkan mekar walau tak berbuah...
tertunduk lesu menggumam pasrah...
ah....aku ingin sendiri....

gadis kebaya usang

lihatlah dia....
gadis mungil memainkan jemarinya....
diantara lembar pucuk muda...
berbasah mesra dengan embun sang dewa....
caping lebar, itulah riasnya....
dan senyum tak putus mengiringi syairnya...

Lihatlah dia....
selendang tipis yang tertepa angin....
seakan melukis mimpi-mimpinya....
melepas ringan segala beban....
tiada jemu menanti sang hujan.....

dia gadis berkebaya usang...
seakan terpatung disudut jengkalnya...
tak peduli bayangnya hendak kemana....
bahkan tak lena...akan kicau alam yang merayu....
semua bak lentera...berdendang dimalam sederhana....

lihatlah....keringatnya enggan menetes....
seakan malu merujuk wajah itu...

gadis berkebaya usang....
bagai putri tak bermahkota...
merajam segala ingin dan duka...
memanggul apa adanya dengan suka....
sungguh.....aku ingin menyapanya....

Senin, 07 Desember 2009

katakan 'iya" padaku.....

gerimis ... menyela soreku....
kilau keemasan tertunda sudah....
yang berpantun tuk asaku...dan...
bermain khayal dimeja nirwana....

Aku ingin tersenyum lagi....
menganyammu dititik jenuhku ....
menari dikuncup indah bungamu....
ah....rasa dipucuk rasa....
bersoleklah manja.....dipadang gembira.....
meraut yang terindah dengan seksama....
diantara "tidak dan iya".....

ah...."tidak" dan "iya".....
merangkaklah dibalik penatnya....
sentuh mesra putiknya....
hingga ia mengeliat tersipu...
berbisik lembut mengusir "tidak"....
dan.."iya" pun... gemulai tak ragu menyapa...

ah..."iya".....berenanglah ketepiku....
bawa irama bingkai nafasmu...
pada karang tak bersantun ini....
yang tegap berdiri memupuk senyum itu...
yang tak pedulikan batas pembagi waktu....
yang acuh pada garis berlaku....

ah..."iya"....katakan dan peluklah aku.

Jumat, 04 Desember 2009

andai belum terbelah...

Andai jiwaku belum terbelah.....
Ku kan berlari bak menjangan....
Teriak lantang gema memetir....
Kepakkan sayap sang jagoan.
Tiada tepi tiada batas....
Riuh memuja enggan berhenti....
Karena sabana tak pernah kering....
Terpenuh ingin bertabur rasa.

Andai jiwaku belum terbelah....
Tak kan kulelap walau sepejam....
Merakit hilir menyemak hulu....
Demi sebulir biji tanpa ratap....
Hingga lukisan itu usai sudah....
Menyimpan kuas diruas hati....

Andai jiwaku belum terbelah...
Kan kupesan sejengkal ruang...
Disela baris tulang rusukku...
Melingkar erat senyap tersedu...
aahh....
aku sudah terbelah.

Senin, 30 November 2009

Rindu Merakku

Merakku manis, bersoleklah kembali.....
Rangkai bulumu diantara harum kamboja,
memekik dan menggonggong tiada batas,
Hingga pelangi tak lagi terbangun karenamu.

Pandanglah....
Anak panah yang menggeliat manja,
Menari-nari dari busurnya,
Menghunjam mesra di bidak catur yang terpana,
Membawa helaimu bait demi bait,
Tertata diukiran lumut nan enggan mengering.

Merakku manis, kau tak pernah tertidur.....
Walau singgasanamu empuk meraja,
Berbantal puja, berselimut riuh tepuk acungan,
Kau tetap terjaga, dengan merah mata membasah....
Bercerita tentang renta petani dan gembala...
Juga pengemis cantik dibalik pintu rumah pejabat.

Simak....
Tuturmu masih santun dihalaman kami,
Satu demi satu kau rangkai,
Tergulung indah, berhias sinar kunang-kunang,
Bersama syahdu mekar flamboyan,
Yang sombong dimusim penghujan.

Merakku manis, jangan menangis....
Karena kami tak pernah sanggup membeli lupa,
Walau kami haus kedinginan,
Dan terkadang tak tahu jalan pulang.
Merakku manis, ijinkan kupinjam tongkatmu....
Tak lama tuan, hanya sebatas tangis anakku,
Yang merindu akan bapaknya,
Bak rindu kami, akan kepakan dan kokokmu.

si pengembala hati

aku si penggembala hati.....
luas tempatku tak berbatas......
panjang jalanku tak berujung.....
sayang ...kini aku tersesat......
dalam sebuah cermin retak....
terkatung lunglai dipertigaan.....

disemak itu aku merengek....
menyusun ketidak puasan....
menghitung lubang seruling pujaan...
antara satu atau dua....

sungguh, kini aku tak berbekal...
hanya bersiul demi awan dan hujan....
menggenggam lena nan letih sudah....
antara dia....atau..... dia.....

ah....aku si penggembala hati....
tak akan menangis dikepalan....
walau bayangku terpenggal....
dihimpitan jerami usang....

Jumat, 13 November 2009

HARAP.....

Itikku manis...menghilang...
Entah sembunyi dimana....
Direruntuhan kalbu tak ada...
Ditaman kasih pun tiada....
Ahh...haruskah tersia hasratku....

Anak panah yg manja...
Tuntunlah tongkat rapuhku...
Walau tertatih dan terpatah....
Menghunjam mesra dipelupuknya...

Itikku manis...menghilang....
Tak berjejak tak berpesan....
Dikolam angan tak ada....
Disudut harap pun tiada....
Ahh...haruskah hampa asaku.....

Aku tak peduli.....
Berbatu atau berduri....
Kan kucari dia...walau hanya selembar bulunya...
Tuk bekal rindu tak sampai...

Jumat, 06 November 2009

Aku tak peduli...

Termenung dipucuk pinus....
Senyap tiada pandang...
Tiada datang pula yg biasa menyapa....
Aku makin terbeku...
Dalam tumpukan ingin dan harap.....
Oh....aku kehausan.....

Retak sudah asaku....
Karena harap yang tak jua kunjung....
Tapi aku tak ingin terpulas....
Aku masih ingin berkedip....

Keringatku belum kering...
Biar...kan ku pungut di lenganku...
Untuk...senyum-senyum mereka.

Terdiam di pucuk pinus....
Antara perut dan saku...
Ah.....aku tak peduli...
Bukankah ini hanya awal dari mimpi...???

Tertawalah kau sedihku...
Tersenyumlah kau penatku....
Jangan pernah kau mengiba lagi...
Saat...kutertindih dipersimpangan...
Karena... tangis anakku, itu bahagiaku....

Kamis, 05 November 2009

Penantian

Langit jingga tlah terjaga..
Merangkum satu demi satu awan yang tercecer..
Memungut pula sisa mentari yg terlelah...
Tuk ukir dalam bungkusan mimpi...

Wahai bunga bakungku...
Kan kupesan sebutir embun untukmu...
Tuk bekal nikmati...resahnya malam....
"Jangan kau gelisah"...
Kutahu bara itu menindihmu...
Mencengkeram erat dengan 4 sayapnya...
Hingga tak sanggup kau sapa dia...
Yang tercekik selimut nafsu....

Bunga bakungku...
Biarkan kuberdongeng untukmu...
Tentang pucuk cemara yg tiada jemu...
Melambai diantara beringasnya kering angin...
Slalu tersenyum dalam untain duka....
Menanti...angan lama.... bersemi.....

Kamis, 08 Oktober 2009

Kembali

Lelahku datang lagi...
Membawa biduk tak berduri,
Mesra cengkrama didua sungai,
Menghitung butir air yang berperasaan.
Lihat....
Bebatuanpun tak bosan mengeja,
Alir demi alir terhafalkan,
Sungguh....aku ingin pulang.

Lelahku datang lagi...
Bersiul rendah menenteng hari,
Tak berbekal tak bernyali,
Nyaring diperaduan.
Dengar.....
Gemercik berpantun,
Saling menyahut, menjaga lengang,
Sungguh....aku ingin kembali.

Lelahku kini bertuan...
Duduk manis menunggu bosan,
Berserah ditepian,
Sungguh....aku ingin berjanji.

Maafkan aku

Panjang ceritanya....
Karena kursi itu telah lelah kududuki,
Ku tak pernah tahu digenggamku,
Sebongkah batu atau debu.

Kini, tercemar sudah telapakku,
Memerah penuh tanya,
Teriris syahdu dalam bualan.

Ingin sekali ku menepi,
Diantara lambaian ilalang,
Dan kuraut akarnya satu demi satu,
Tuk kado malamku yang lelah kekenyangan,
Hingga, tak lagi kuingat jemariku,
Kutaruh dipundak atau kening.

Panjang ceritanya....
Satu bahkan seribu lupalah aku,
Dikolong baris meja itu,
Atau disaku calanaku.

Untuk siapa...

Rona diantara dua duka...
Tersenyum, bergelayut disudut manja...
Ingin ia merekah...
Sekejap menuju harap.

Entah....
Sisi manis telah bersapa...
Menunggu hunjam pucuk kata.

Ronapun mulai mencerca....
Dua sengaja nan bersua...
Ada dan tiada...
Mengiya tanpa tahu...

Entah...
Senyum siapa yang memulai...
Menawar rasa demi rasa.

Rona dibalik dua duka...
Terkatup, disela ingin...
Bertepuk seakan pasti...
Entah...untuk siapa.

Jumat, 02 Oktober 2009

Sumateraku...

Flamboyanku manis....
Tetaplah bersajak dibalik basah wajah kami...
Yang mengalir tiada patah...
Dibalik pasrah dan do'a.
Sampaikan pula salam kami...
Disela reruntuhan, jasad yang tersenyum...

Flamboyanku manis...
Jadikan parau isak kami...
Cerita indah anak cucu...
Juga secuil harap nan perkasa...

Bisikkan pula pada kami...
Kisah bersyurga....
Dari sudut sayap jingga....

Wahai...bunga menata waktu....
Ijinkan rangkai pinta kami...
Membelai.....
Gelisah bocah-bocah...., juga....
Riuh resah ibu sang penyusu...

Wahai... bunga penata waktu...
Lantang teriakkan...
Jangan genggam ratap "saudaraku"....

Sumateraku....
Jangan bersimpuh duka....
Kau tak boleh menangis...
Tiada pula sedih yang pantas untukmu...
Sumateraku....
Mari bersuka...
Bermain mentari esok pagi...
Bercanda mesra...
Diantara....
wangi mekar sang flamboyan.

Kamis, 01 Oktober 2009

Segenggam pasir untukmu

Segenggam pasir ini untukmu...
Jangan kau tanya.... untuk apa....
Cepat....kau simpan ditawa kecilmu...
Segenggam pasir ini untukmu....
Tak usah kau tanya.....dari mana pula.....
Cepat....kau selipkan dimimpimu....

Sudahlah.....
Diapun tak pernah bertanya tentangmu....

Pasir itu...
Permata disudutku....
Entah...bagimu....
Ia bahagiaku.....
Entah olehmu....
Walau hanya sekumpulan nan mendebu....

Pasir ini untukmu....
Tak usah kau tanya....
Segenggam tangan siapa....
Bukankah dia tiada harga bagimu...

Maaf....
Hanya butiran itu...milikku...
Sebagai kado cerita barumu.

Pagiku.....

Pagiku telah kembali...
Tapi.... tak bermentari....
Entah...pergi kemana....

Pagiku datang lagi...
Tapi...tak menggandeng mentari....
Entah...tersangkut dimana.....

Pagiku...begitu resah....
Tak lagi kuning keemasan....
Tanpa cubitan riang.....
Dan...celoteh manja....

Pagiku.... terasa kering....
Tanpa embun sang pendongeng...
Tentang janji...yang tak pernah terlantun...

Pagiku datang kembali....
Bersedih....mencari mentari....
Entah...kini dia milik siapa.

Pagiku...mengapa kau berdiri senyap....
Beku tak bersapa.....
Tiada mengeleng dan mengiya....
Masihkah, ada secuil mentari untukku???

Sabtu, 12 September 2009

Hitler pernah berkata.....

aku pernah berkata, seperti dia yang pernah katakan:
"jangan kasihani mereka yang lemah......"
"karena yang yang lemah adalah pendusta"
"jangan kasihani mereka yang miskin...."
"karena yang miskin adalah pendosa"
"Jangan kasihani mereka yang bodoh...."
"karena yang bodoh adalah penista"
"jangan kasihani mereka yang hina..."
"karena yang hina adalah pengiba"
bukankah mereka yang lemah, miskin, bodoh dan hina.....
adalah mengundur beradapan kita???
haruskah mereka duduk bersanding dengan mimpi kita???
atau....pendam hidup-hidup2 mereka....
dalam letihku nafsu nan hampa....

aku pernah berkata, seperti dia yang pernah katakan:
bukankah mereka adalah pahlawan tanpa harga???
teman....
bakarlah..... yang lemah, miskin bodoh dan hina...
dalam seonggok ranting asa nan membara!!!!

Rabu, 09 September 2009

Antara dua janji

aku...diantara dua janji...
disela tanya dan jawab...
mengangguk, menggeleng...
tiada jelas....

aku...sang dua janji....
diantara suka dan duka...
mengiba, tertawa....
tiada henti....

aku...mendekap dua janji...
kaku dan lunglai...
berbisik, terkatup...
tiada batas....

aku...menenteng dua janji...
terbungkus dan menganga...
terbesit, terlihat...
tiada akhir....

aku diantara dua janji...
hidup dan mati...
tersurat, tersirat...
tiada tahu....

Jumat, 04 September 2009

Perahuku di ujung lidah

Tak bergeming...tak beranjak,
Mematung diantara bulan dan matahari...
Kapan layarmu bersyair kembali?

Tak peduli aku....
Kau terbang atau berlabuh,
Tuk mengiya setiap mimpi.

Perahuku....
Jangan kau tersedak tangis,
Bungkuslah senyum buat esok hari,
Senyum sedih atau duka ...tak mengapa,
Karena semua sama saja,
Kan terpanggang cerita lama.

Perahuku.....
Lihatlah.....senja telah memeluk burung penjaga waktu,
Memintal segenap lamunan,
Juga asa yang tercecer pasrah.

Perahuku....
Kau kah tumpanganku?
Jangan....jangan kau terdiam,
Katakan kebarat atau keselatan,
Jangan pula gagap dipersimpangan.

Perahuku....
Antar aku.... tidak tunggu lain waktu,
Bukankah kau hampir sampai,
Dibalik ucap tak bertuan,
Diujung lidah kebenaran.

Kamis, 03 September 2009

Rupa pura-pura


diam pura pura
senyum pura juga
menyaksikan dari ujung merasakan kepalsuan itu

pintar pura pura
terlupa pura juga
seruput pahit kopi malam ini yang begitu nyata

tua pura pura
balita pura tangis
kibas saja biarlah lalu biarlah lalu

berantakan pura pura
terbangun pura palsu
adakah belai sayang kasih terikhlas henti pura ku
adakah rindu pada cinta yang kan sejati mu

ber pura dalam pura
ber dalam pura pura
pura mu pura ku selamatkan itu ini wajah pura pura semu

Fuh!!!


(oleh: Sri Wahyudi, 22:29 Kamis, 03 September 2009)

SI Tole

Rumah itu begitu sepi walau baru jam setengah delapan malam. Terasa berat sekali hati ini tuk mengetuk pintu yg sederhana itu. Sejenak kuberdiri didepannya sambil mencoba menata raut yang sepertinya tak mau diajak kompromi. Akhirnya kupaksakan tuk sedikit menelan ludah sebagai doping keberanianku. "Assalamualaikum.....", ucapku pelan sambil lunglai tanganku mengetuk pintu. "Wa'alaikum salam", balas dari dalam rumah itu. "Oh..Tuhan, suara itu begitu meluluhkanku...bak membuka kembali kisah 12 th yang lalu....." Semakin pucat aku saat terdengar tangan menyentuh daun pintu.
Wajah yang begitu indah bagiku tiba-tiba muncul dibalik pintu seraya bertanya lirih "cari siapa mas?" Aku hanya bungkam dan senyum kecilku yang menjawabnya. Ia pun menatapku tajam sambil membenahi kerudungnya. "Mas Amri ya?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk kaku. Sejenak ia pun terpaku dan menoleh kebelakang saat suara manja memanggilnya, "Mak...mak...!!!" Sambil membuka lebar pintu itu ia manyuruhku tuk masuk. Akupun bergegas menuju kursi kayu itu. "Sebentar mas," seraya dilangkahkan kakinya menuju suara itu.
Aku gusar dalam dudukku, entah apa yang harus kukatakan padanya nanti. Sambil menunggunya, kupasang telingaku tuk menikmati para penyair malam berbalas pantun. Begitu indahnya, sang jangkrik dan belalang seakan-akan tak memberi kesempatan katak tuk bernyanyi. Semakin kurasakan wajah itu begitu melekat kembali dengan suasana yang ada walau jujur kalau dia tak semanis 12 th lalu. Dinginnya malam mulai terasa saat sumilir bayu menyusup disela-sela dinding bambu yang seakan menggandengku kedalam jurang lamunan. "Le...sekarang tidur dulu ya, Emak ada tamu diluar!" Suara itu kembali terdengar dibalik dinding kamar yang seadanya.
"Siapa Mak?"
"Teman emak dulu."
"Teman Bapak juga ya?"
"He..em..."
"Mak....!"
"Ada apa lagi sih Le?"
"Kapan bapak pulang Mak, lebaran besok ya?"
"Iya...Le!"
"Bapak belikan aku apa ya Mak, Tole pingin sepatu baru."
"Iya..sekarang kamu tidur dulu ya, nanti tamunya nunggu lho."
Ya...ALLAH....aku semakin tak kuasa mendengar percakapan mereka, tiba-tiba sangat menyakitkan hatiku.
"Maaf mas Amri, nunggu lama ya?"
"Ah...enggak kok, tadi anakmu to Fah?"
"Iya mas, anak satu-satunya, Tole namanya."
"Kelas berapa?"
"Baru kelas 3 mas, tapi nakalnya minta ampun."
"ha...ha.....ha....." tawaku setengah memaksa.
"Oh ya mas, sebentar tak bikinin minum!"
"Gak usah Fah, jangan repot-repot ini saja sudah cukup." Sambil tanganku menghampiri kendi tanah yang seakan menjadi menu utama dimeja itu.
"Rifah, aku kesini sebenarnya mau ngomong sedikit!"
"Ngomong apa mas, penting ya? Lagian tahu dari mana kalau saya tinggal disini?"
"Ya, mungkin penting, mangkanya aku tahu tempatmu ini aku kesini."
"Lho...kok mungkin sih, sampeyan ini pancet ae kayak dulu gak berubah-rubah."
"Ha..ha..ha...sudahlah jangan bicara yang dulu-dulu lagi, kayaknya sekarang bukan saatnya."
"Lalu mas Amri mau ngomong apa?"
"Gini Fah,...... suamimu namanya Udin ya?"
"Iya...lho kok tahu sih mas, tahu dari mana?"
"Ssttt...jangan keras-keras...nanti anakmu dengar!"
"Ada apa to mas, aku kok tambah bingung saja."
Aku tahu kalau dia orangnya sangat kuat dan tabah jadi aku tak takut lagi tuk mengutarakan yang sebenarnya.
"Fah, sebelumnya aku mohon maaf yg sebesar2nya kalau aku membawa kabar yang menyakitkanmu!"
"Kabar apa sih mas?" tanyanya tanda tak sabar.
"Tapi janji ya, jaga suasana ini tetap tenang!" Pintaku sambil kuberanikan diri memegang tangannya yang tak halus lagi dan wajah tegang mulai terpampang jelas dari sorotnya.
"Begini Fah, aku mau ngabari kamu kalau suamimu telah tiada!"
"Ngomong apa sih mas, jangan bercanda gitu?"
"Sssstttt.....jangan keras-keras, sekarang dengarkan penjelasanku!" Dia pun mengangguk tanda setuju.
"Fah, aku ini sekarang jadi polisi, tolong percaya akan omonganku ini!" Diapun kembali mengangguk kecil.
"Seminggu yang lalu kami telah menembak mati seorang rampok, kami tidak tahu siapa dia karena tidak ada identitasnya dan mayatnya sekarang masih ada dirumah sakit di Jakarta sana. Lima hari setelah kejadian ada seseorang yang mengaku temannya dan memberikan sebuah dompet padaku, katanya itu adalah dompet orang yang kami tembak dan dia minta tolong untuk memberikan informasi pada keluarganya atas kejadian itu. Setelah kubuka dompetnya ada foto kamu, ini....coba kamu lihat." Sambil kusodorkan sebuah dompet kulit padanya.
Lalu dia membukanya pelan dan isak kecil tiba-tiba mengiringi air matanya jatuh kepipi. Seakan tak percaya, dia memandangku sendu penuh tanya.
"Mas...." Panggilnya sambil erat tangannya meremas jariku.
"Sudahlah Fah, ini semua sudah terjadi jangan disesali!" Hiburku menenangkannya.
Isak tangisnya semakin menjadi sambil ditutupinya rapat-rapat mulutnya.
Akupun mencoba memeluknya agar susana tetap terkendali.
"Sstt....Sudah-sudah jangan menangis....nanti anakmu bangun, kasihan dia Fah! Kuatkan hatimu ya..., besok mayat suamimu akan aku antar kesini."
Dia mengeleng dan terus mengeleng sambil menahan tangisnya.
"Lho..kenapa Fah....?"
"Jangan mas, jangan..... biarkan dia dikubur disana saja, aku tak mau Si Tole mengetahui hal ini. Ternyata ayah yang dibangga-banggakan selama ini adalah seorang perampok, bagaimana perasaanya kalau dia tahu mas?" Pintanya dengan nada yang mulai serak.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang, tapi aku bisa memahami perasaanya dan akupun menganguk-angguk seakan-akan menyetujuinya.
"Baiklah Fah, aku janji untuk mengurusi semuanya dan mencoba merahasiakan hal ini, agar tak seorangpun tahu kalau bapak Tole adalah seorang perampok."
Seakan tak ingin lama-lama aku disana, akhirnya aku pun ucap pamit padanya.
"Fah, sekarang aku pamit dulu, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk kita bertemu dan ini ada sedikit uang buat anakmu, katakan padanya kalau ini dari bapaknya untuk beli sepatu baru." kataku sambil ku serahkan uang dari dalam dompetku dan kuberanikan diri untuk masuk kedalam kamar itu sambil sejenak kupandang haru wajah tampan bocah yang sedang bermain dengan mimpi. Dia hanya terdiam mengikutiku, justru tangisnya hampir menjadi-jadi.
"Sudah...sudah, jangan begini.....kamu tadi kan sudah janji?" Pintaku kembali.
Memang rasa tak tega bergumul dengan kasihan begitu memberatkan langkahku. Tapi, kucoba tuk tegar saat kutatap merah matanya yang berkaca-kaca. Tak banyak yang ucapkan kembali, akupun berjalan meninggalkan rumah bambu itu.
"Fah...Rifah....maafkan aku ya," gumamku dalam hati.
Tiba-tiba pula rasa bersalahku belasan tahun silam muncul seketika. Tak pernah ada kabar buatnya kala kutinggalkan dia begitu saja, mungkin saat cintanya padaku begitu menggema penuh harap. Aku masih teringat betul saat bapaknya dulu berucap padaku kalau dia sangat tidak setuju bila aku berjodoh dengan anaknya. Entah apa alasannya, sampai sekarang akupun belum tahu dan itulah yg membuatku untuk meninggalkan Rifah. Kabar beritanya tak lagi kuikuti hingga aku menemukannya dalam keadaan dan suasana seperti ini.
Yah...semuanya sudah berlalu, bagai mimpi yang selalu berganti. Tapi, tak bisa kupungkiri kalau aku sangat kasihan sekali pada anak si Rifah. Aku sendiri tak bisa membayangkan kalau aku yang menjadi dia.
Seminggu sudah kejadian itu berlalu, tapi kalut hatiku masih belum bisa terima. Entahlah...yang jelas aku belum bisa melupakan keluarga sederhana yang baru saja berduka itu. Rasa ibaku begitu kuat pada sosok Si Tole dan sedikit jujur, sepertinya benih usang itu mulai tersirami lagi, ditengah masa melajangku saat ini. Kadang pula aku membayangkan sendiri, bagaimana jika aku yang akan menggantikan bapaknya Si Tole. Oh...Tuhan....rasanya tiada doa yang patut terucap ditengah kegundahanku ini mungkin hanya satu harapku, berikanlah yang terbaik pada Si Tole.

Kamis, 20 Agustus 2009

KATAKAN PADA MEREKA.....

Wahai teman......
Katakan pada mereka.....
Yang sedang bingung mencari jalan.....
Yang sedang membaca buku kebodohan....
Yang sedang berceramah kecemasan....
Yang sedang manawarkan kekonyolan....
Yang sedang membungkus kebenaran....
Yang sedang bermimpi diawang-awang....

Wahai teman......
Teriakkan pada mereka.....
Yang sedang terlena dipersimpangan....
Kalau kita bukan siKerbau itu...

Wahai teman....
Jangan rapatkan selimutmu....
Saat...mariot jilid dua tlah terbit....
Bukankah itu hanya gelitik dikaki kita???

Wahai teman.....
Bisikkan pada mereka....
Yang sedang tertawa difata morgana...
Bukankah...ini tanah kita....
Yang sedang terinjak keledai-keledai dungu???

Wahai teman.....
Ucapkan salam pada mereka....
Yang sedang berkaca dipintu syurganya....
Bahwa kita telah terbangun....
Karena cubitan manis mereka....

Wahai teman....
Genggamlah erat tanganku....
Bagai nenek moyang kita memegang bambu runcing...
Tunjukkan pada keledai-keledai dungu itu....
Kalau kita adalah Garuda bertaring....
Wahai teman....
Jangan biarkan mereka sembunyi dibalik ketiak kita...
Enyahkan mereka dengan syair "Padamu negeri"....
Jangan takut karena petasan-petasan mereka...
Yang hanya bikin tersentak bayi-bayi bobok....
Wahai teman.....
Jangan beri mereka...walau hanya numpang tidur....
Karena mereka telah menyembelih manusia bagai ayam potong...
Dan berdalih....Agama yang meminta....
Sambil bercerita...."Kita pasti masuk syurga".....
Wahai teman.....
Ini tanah kita.....ini rumah kita.....!!!!!
Lalu...siapa mereka, terlahirkah mereka walau dihalaman rumah ini???

Wahai teman.....
Mari, tegakkan kepala kita....
Demi sang Ibu yang mebesarkan kita....
Demi sang Saka yang melekat disudut dada!!!!!
Katakan sekali lagi pada mereka...
Bahwa kita bukan kerbau itu.....
Tapi merekalah keledai-keledai dungu itu....
MERDEKA........!!!!!

Selasa, 11 Agustus 2009

AKU SEORANG PEJABAT

Aku adalah seorang pejabat......
Tidakkah kau tahu itu.....
Dibalik jasku ada bisa beracun,
yang siap meluluh lantakkan mimpi-mimpimu.

Bila kalian ingin aku menepati janjiku waktu lalu....
Lewat corong usang dan ramai2 mengiba.....
Ah....kalian betul-betul tak waras....
Bukankah demo-demo tak berguna itu hanyalah lagu pengantar tidur kami???
Tak usah kamu meminta sobat...
Karena semua janjiku dulu, hanyalah...
Sebuah kata pengantar buku berlirik dusta.

Lihatlah....
Dilengan kiriku teman....
Dari polisi yang bercukong dan birokrat bertampang jaksa...
Yang mengikat kepalanya dengan dasi....
Semua mengharap rokok tak bercukai dariku....

Jika....
Suatu hari.... aku menyolek gadis cantik....
Lalu kubisikkan sebutir nafsu berbungkus rupiah....
Jangan kau iri...karena gadis itu kan tersipu malu...
Dan menyeretku dalam hangat selimutnya....
Apakah kau lupa....kalau aku seorang pejabat???

Kalau kami hangat kau bicarakan....
Disela2 redup warung kopi....
Sambil menatap televisi dan koran bekas....
Tentang korupsi dan saudaranya....
Jangan...jangan kau terhipnotis....
Karena kami akan dibesarkan dari situ....
Bukankah semua itu makan malamku???

Jika kau lihat kami duduk manis dikursi pesakitan....
Tak usah kalian tertawa lebar....
Karena itu hanya pemanasan permainanku...
Bukankah aku seorang pejabat???

Terimakasih kawan.....
Kalian telah mengantar aku pada pintu syurgaku...
Disini...aku mau istirahat sejenak....
Memeluk kursi empuk yang akan meninabobokanku...
Membesarkan anuku dan memesan peti mati emas berukir air mata kalian....
Hanya satu pesanku kawan...
Selamat menikmati...dan jangan ada sesal lagi....

Kamis, 23 Juli 2009

JANGAN MENANGIS IBU.....

Saat pelangi bermuram durja....
Diantara....gema tangis yg menyela....
Kau....tetap tersenyum...disela2 air matamu....
Kaupun....melambai kecil, tanda panggil anak2mu....
Penuh manja pula....kau dekap mereka satu persatu...
Tapi...air matamu...terus minitik.....
Bak sisa hujan dipagi hari....
Ada apa ibu.....
Jangan...jangan kau menangis.....
Kalau anakmu ini nakal, hukumlah ibu.....
Kau pun kembali tersenyum, tanpa menyeka basah pipimu....
Hanya berkata lirih...."sudahlah, jangan bertanya lagi".....
Ibu .....kini kutahu benakmu....
Kau merindukan kami kembali bercanda.....
Tertawa...dan menyanyi.....
Maafkan kami ibu....yang sudah bikin gersang hatimu...
Kami kini berjanji...tak akan bertengkar lagi....
Hanya demi secuil roti dan sebuah mainan usang....
Letakkan kembali dibahu kanan kami....
Lagu "Indonesia Raya dan Padamu Negri"....
Ibu....tak usah kau menangis lagi....
Kan kami tanam biji saudara ditanah suburmu...
dari sabang sampai merauke....

Selasa, 26 Mei 2009

pagi nan indah

selamat pagi mentari....
jadikan pagi ini lebih indah,
dari cerita buyutku 1000 tahun lalu,
biarkan embun mengering manja,
membasuh muka nirwana,
menuntun duka berganti cerita.

pagi nan indah......jangan muramkan rautmu,
abadikan lesung pipitmu,
diantara.....jari-jari mungil,
dan keriput yg berpelangi...
lantunkan pula lirikmu,
seindah syair air mengalir.

oh...pagi nan indah....
temani mereka....
yang sibuk memikul bayangnya,
dan memungut tetes demi tetes keringatnya,
tuk jadikan...kado malam hari,
juga.....
bagikan pula pada mereka,
serangkum tawa jenaka,
disela-sela sisa lumpur yang tak terseka.

oh...pagi nan indah....
datanglah esok seperti ini,
sampai kami merasa jemu tak berarti.

rindu anakku...

suara itu merdu nian,
Walau rengek dan tangis....
bak bisik pujangga malam,
mengapa ia slalu datang,
mengendap pelan disudut telinga,
memintal asa dan hatiku,
sungguh aku resah mendengarnya.

oh Tuhan....
enyahkan dia dari sisi nadiku.

kini aku telah tuli.....
tak satupun dapat menyapaku....
tapi....
suara itu......
makin menggema dipucuk kalbu....

dengar....
dengarkan.....ia datang lagi....
tak menangis tak merengek....
hanya mengantar sepucuk surat rindu....
"kapan bapak pulang.......
adik...kangen pak..."

Senin, 25 Mei 2009

bunga nan indah

bunga itu begitu indah....
sayang...dia jauh disebrang sungai itu...
ingin kupetik dan kutanam diperaduanku....
tapi... aku tak kuasa....
biarlah...kududuk senyap disini...
melepas pandang...menyimpan jenuh....
hingga....surya malu pada langit jingga....

wahai embun malam....
jagalah dia dengan basahmu....
bisikkan lembut tentang kidungku....
lalu belailah manja dengan salamku....
jangan biarkan dia tersedak dalam mimpi....
melepas tangkai karena takut pada waktu...
biarkan sang mekar melayaninya...
sampai sungai itu mengering sedih...
dan kudatang gagah padanya....
sambil menenteng bangga....
seonggok kardus lamunan...

bunga itu begitu indah....
sayang...dia jauh disebrang sungai itu....

salam rindu

nona....dimalam ini....
ijinkan ku datang padamu....
kan keketuk lirih pintu kamarmu...
jangan...jangan....tak usah kau buka,
cukup merapatlah dibalik pintu,
tuk dengar sepatah bisikku,
"nona....ijinkan aku menantimu..."

nona....liriklah kejendela itu....
lihat....dia masih lebar terbuka....
jangan...jangan....tak usah kau tutup,
cukup tersenyumlah padanya,
biarkan....sang dingin...sampaikan lembut salamku,
"bahwa....aku sangat mengharapmu...."

nona....berbaringlah pelan....
hangatkan dengan selimutmu....
jangan...jangan....tak usah...kau terpejam,
cukup kau mainkan jemarimu,
biarkan....pembagi mimpi bercerita padamu,
"kalau...aku sangat merindumu...."