Sabtu, 12 September 2009

Hitler pernah berkata.....

aku pernah berkata, seperti dia yang pernah katakan:
"jangan kasihani mereka yang lemah......"
"karena yang yang lemah adalah pendusta"
"jangan kasihani mereka yang miskin...."
"karena yang miskin adalah pendosa"
"Jangan kasihani mereka yang bodoh...."
"karena yang bodoh adalah penista"
"jangan kasihani mereka yang hina..."
"karena yang hina adalah pengiba"
bukankah mereka yang lemah, miskin, bodoh dan hina.....
adalah mengundur beradapan kita???
haruskah mereka duduk bersanding dengan mimpi kita???
atau....pendam hidup-hidup2 mereka....
dalam letihku nafsu nan hampa....

aku pernah berkata, seperti dia yang pernah katakan:
bukankah mereka adalah pahlawan tanpa harga???
teman....
bakarlah..... yang lemah, miskin bodoh dan hina...
dalam seonggok ranting asa nan membara!!!!

Rabu, 09 September 2009

Antara dua janji

aku...diantara dua janji...
disela tanya dan jawab...
mengangguk, menggeleng...
tiada jelas....

aku...sang dua janji....
diantara suka dan duka...
mengiba, tertawa....
tiada henti....

aku...mendekap dua janji...
kaku dan lunglai...
berbisik, terkatup...
tiada batas....

aku...menenteng dua janji...
terbungkus dan menganga...
terbesit, terlihat...
tiada akhir....

aku diantara dua janji...
hidup dan mati...
tersurat, tersirat...
tiada tahu....

Jumat, 04 September 2009

Perahuku di ujung lidah

Tak bergeming...tak beranjak,
Mematung diantara bulan dan matahari...
Kapan layarmu bersyair kembali?

Tak peduli aku....
Kau terbang atau berlabuh,
Tuk mengiya setiap mimpi.

Perahuku....
Jangan kau tersedak tangis,
Bungkuslah senyum buat esok hari,
Senyum sedih atau duka ...tak mengapa,
Karena semua sama saja,
Kan terpanggang cerita lama.

Perahuku.....
Lihatlah.....senja telah memeluk burung penjaga waktu,
Memintal segenap lamunan,
Juga asa yang tercecer pasrah.

Perahuku....
Kau kah tumpanganku?
Jangan....jangan kau terdiam,
Katakan kebarat atau keselatan,
Jangan pula gagap dipersimpangan.

Perahuku....
Antar aku.... tidak tunggu lain waktu,
Bukankah kau hampir sampai,
Dibalik ucap tak bertuan,
Diujung lidah kebenaran.

Kamis, 03 September 2009

Rupa pura-pura


diam pura pura
senyum pura juga
menyaksikan dari ujung merasakan kepalsuan itu

pintar pura pura
terlupa pura juga
seruput pahit kopi malam ini yang begitu nyata

tua pura pura
balita pura tangis
kibas saja biarlah lalu biarlah lalu

berantakan pura pura
terbangun pura palsu
adakah belai sayang kasih terikhlas henti pura ku
adakah rindu pada cinta yang kan sejati mu

ber pura dalam pura
ber dalam pura pura
pura mu pura ku selamatkan itu ini wajah pura pura semu

Fuh!!!


(oleh: Sri Wahyudi, 22:29 Kamis, 03 September 2009)

SI Tole

Rumah itu begitu sepi walau baru jam setengah delapan malam. Terasa berat sekali hati ini tuk mengetuk pintu yg sederhana itu. Sejenak kuberdiri didepannya sambil mencoba menata raut yang sepertinya tak mau diajak kompromi. Akhirnya kupaksakan tuk sedikit menelan ludah sebagai doping keberanianku. "Assalamualaikum.....", ucapku pelan sambil lunglai tanganku mengetuk pintu. "Wa'alaikum salam", balas dari dalam rumah itu. "Oh..Tuhan, suara itu begitu meluluhkanku...bak membuka kembali kisah 12 th yang lalu....." Semakin pucat aku saat terdengar tangan menyentuh daun pintu.
Wajah yang begitu indah bagiku tiba-tiba muncul dibalik pintu seraya bertanya lirih "cari siapa mas?" Aku hanya bungkam dan senyum kecilku yang menjawabnya. Ia pun menatapku tajam sambil membenahi kerudungnya. "Mas Amri ya?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk kaku. Sejenak ia pun terpaku dan menoleh kebelakang saat suara manja memanggilnya, "Mak...mak...!!!" Sambil membuka lebar pintu itu ia manyuruhku tuk masuk. Akupun bergegas menuju kursi kayu itu. "Sebentar mas," seraya dilangkahkan kakinya menuju suara itu.
Aku gusar dalam dudukku, entah apa yang harus kukatakan padanya nanti. Sambil menunggunya, kupasang telingaku tuk menikmati para penyair malam berbalas pantun. Begitu indahnya, sang jangkrik dan belalang seakan-akan tak memberi kesempatan katak tuk bernyanyi. Semakin kurasakan wajah itu begitu melekat kembali dengan suasana yang ada walau jujur kalau dia tak semanis 12 th lalu. Dinginnya malam mulai terasa saat sumilir bayu menyusup disela-sela dinding bambu yang seakan menggandengku kedalam jurang lamunan. "Le...sekarang tidur dulu ya, Emak ada tamu diluar!" Suara itu kembali terdengar dibalik dinding kamar yang seadanya.
"Siapa Mak?"
"Teman emak dulu."
"Teman Bapak juga ya?"
"He..em..."
"Mak....!"
"Ada apa lagi sih Le?"
"Kapan bapak pulang Mak, lebaran besok ya?"
"Iya...Le!"
"Bapak belikan aku apa ya Mak, Tole pingin sepatu baru."
"Iya..sekarang kamu tidur dulu ya, nanti tamunya nunggu lho."
Ya...ALLAH....aku semakin tak kuasa mendengar percakapan mereka, tiba-tiba sangat menyakitkan hatiku.
"Maaf mas Amri, nunggu lama ya?"
"Ah...enggak kok, tadi anakmu to Fah?"
"Iya mas, anak satu-satunya, Tole namanya."
"Kelas berapa?"
"Baru kelas 3 mas, tapi nakalnya minta ampun."
"ha...ha.....ha....." tawaku setengah memaksa.
"Oh ya mas, sebentar tak bikinin minum!"
"Gak usah Fah, jangan repot-repot ini saja sudah cukup." Sambil tanganku menghampiri kendi tanah yang seakan menjadi menu utama dimeja itu.
"Rifah, aku kesini sebenarnya mau ngomong sedikit!"
"Ngomong apa mas, penting ya? Lagian tahu dari mana kalau saya tinggal disini?"
"Ya, mungkin penting, mangkanya aku tahu tempatmu ini aku kesini."
"Lho...kok mungkin sih, sampeyan ini pancet ae kayak dulu gak berubah-rubah."
"Ha..ha..ha...sudahlah jangan bicara yang dulu-dulu lagi, kayaknya sekarang bukan saatnya."
"Lalu mas Amri mau ngomong apa?"
"Gini Fah,...... suamimu namanya Udin ya?"
"Iya...lho kok tahu sih mas, tahu dari mana?"
"Ssttt...jangan keras-keras...nanti anakmu dengar!"
"Ada apa to mas, aku kok tambah bingung saja."
Aku tahu kalau dia orangnya sangat kuat dan tabah jadi aku tak takut lagi tuk mengutarakan yang sebenarnya.
"Fah, sebelumnya aku mohon maaf yg sebesar2nya kalau aku membawa kabar yang menyakitkanmu!"
"Kabar apa sih mas?" tanyanya tanda tak sabar.
"Tapi janji ya, jaga suasana ini tetap tenang!" Pintaku sambil kuberanikan diri memegang tangannya yang tak halus lagi dan wajah tegang mulai terpampang jelas dari sorotnya.
"Begini Fah, aku mau ngabari kamu kalau suamimu telah tiada!"
"Ngomong apa sih mas, jangan bercanda gitu?"
"Sssstttt.....jangan keras-keras, sekarang dengarkan penjelasanku!" Dia pun mengangguk tanda setuju.
"Fah, aku ini sekarang jadi polisi, tolong percaya akan omonganku ini!" Diapun kembali mengangguk kecil.
"Seminggu yang lalu kami telah menembak mati seorang rampok, kami tidak tahu siapa dia karena tidak ada identitasnya dan mayatnya sekarang masih ada dirumah sakit di Jakarta sana. Lima hari setelah kejadian ada seseorang yang mengaku temannya dan memberikan sebuah dompet padaku, katanya itu adalah dompet orang yang kami tembak dan dia minta tolong untuk memberikan informasi pada keluarganya atas kejadian itu. Setelah kubuka dompetnya ada foto kamu, ini....coba kamu lihat." Sambil kusodorkan sebuah dompet kulit padanya.
Lalu dia membukanya pelan dan isak kecil tiba-tiba mengiringi air matanya jatuh kepipi. Seakan tak percaya, dia memandangku sendu penuh tanya.
"Mas...." Panggilnya sambil erat tangannya meremas jariku.
"Sudahlah Fah, ini semua sudah terjadi jangan disesali!" Hiburku menenangkannya.
Isak tangisnya semakin menjadi sambil ditutupinya rapat-rapat mulutnya.
Akupun mencoba memeluknya agar susana tetap terkendali.
"Sstt....Sudah-sudah jangan menangis....nanti anakmu bangun, kasihan dia Fah! Kuatkan hatimu ya..., besok mayat suamimu akan aku antar kesini."
Dia mengeleng dan terus mengeleng sambil menahan tangisnya.
"Lho..kenapa Fah....?"
"Jangan mas, jangan..... biarkan dia dikubur disana saja, aku tak mau Si Tole mengetahui hal ini. Ternyata ayah yang dibangga-banggakan selama ini adalah seorang perampok, bagaimana perasaanya kalau dia tahu mas?" Pintanya dengan nada yang mulai serak.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang, tapi aku bisa memahami perasaanya dan akupun menganguk-angguk seakan-akan menyetujuinya.
"Baiklah Fah, aku janji untuk mengurusi semuanya dan mencoba merahasiakan hal ini, agar tak seorangpun tahu kalau bapak Tole adalah seorang perampok."
Seakan tak ingin lama-lama aku disana, akhirnya aku pun ucap pamit padanya.
"Fah, sekarang aku pamit dulu, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk kita bertemu dan ini ada sedikit uang buat anakmu, katakan padanya kalau ini dari bapaknya untuk beli sepatu baru." kataku sambil ku serahkan uang dari dalam dompetku dan kuberanikan diri untuk masuk kedalam kamar itu sambil sejenak kupandang haru wajah tampan bocah yang sedang bermain dengan mimpi. Dia hanya terdiam mengikutiku, justru tangisnya hampir menjadi-jadi.
"Sudah...sudah, jangan begini.....kamu tadi kan sudah janji?" Pintaku kembali.
Memang rasa tak tega bergumul dengan kasihan begitu memberatkan langkahku. Tapi, kucoba tuk tegar saat kutatap merah matanya yang berkaca-kaca. Tak banyak yang ucapkan kembali, akupun berjalan meninggalkan rumah bambu itu.
"Fah...Rifah....maafkan aku ya," gumamku dalam hati.
Tiba-tiba pula rasa bersalahku belasan tahun silam muncul seketika. Tak pernah ada kabar buatnya kala kutinggalkan dia begitu saja, mungkin saat cintanya padaku begitu menggema penuh harap. Aku masih teringat betul saat bapaknya dulu berucap padaku kalau dia sangat tidak setuju bila aku berjodoh dengan anaknya. Entah apa alasannya, sampai sekarang akupun belum tahu dan itulah yg membuatku untuk meninggalkan Rifah. Kabar beritanya tak lagi kuikuti hingga aku menemukannya dalam keadaan dan suasana seperti ini.
Yah...semuanya sudah berlalu, bagai mimpi yang selalu berganti. Tapi, tak bisa kupungkiri kalau aku sangat kasihan sekali pada anak si Rifah. Aku sendiri tak bisa membayangkan kalau aku yang menjadi dia.
Seminggu sudah kejadian itu berlalu, tapi kalut hatiku masih belum bisa terima. Entahlah...yang jelas aku belum bisa melupakan keluarga sederhana yang baru saja berduka itu. Rasa ibaku begitu kuat pada sosok Si Tole dan sedikit jujur, sepertinya benih usang itu mulai tersirami lagi, ditengah masa melajangku saat ini. Kadang pula aku membayangkan sendiri, bagaimana jika aku yang akan menggantikan bapaknya Si Tole. Oh...Tuhan....rasanya tiada doa yang patut terucap ditengah kegundahanku ini mungkin hanya satu harapku, berikanlah yang terbaik pada Si Tole.